Ajisaka
Pada zaman dahulu kala, di Desa Medang Kawit, Desa
Majethi, Jawa Tengah. Hidup seorang kesatria bernama Ajisaka. Dia seorang
tampan dan memiliki ilmu yang sangat sakti. Ajisaka memiliki dua orang punggawa
bernama Dora dan Sembada. Suatu hari, Ajisaka ingin pergi berkelana, bertualang
meninggalkan Pulau Majethi. Kemudian Ajisaka pun pergi bersama dengan Dora.
Sedangkan Sembada tetap tinggal di Pulau Majethi. Sebelum pergi Ajisaka
berpesan kepada Sembada untuk menjaga keris pusaka Ajisaka dan membawanya ke
Pegunungan Kendeng.
Pada waktu itu di Jawa ada negeri yang terkenal makmur, aman, dan damai,
yang bernama Negeri Medang Kamulan. Negeri itu dipimpin oleh Prabu Dewata
Cengkar, seorang raja yang berbudi luhur dan bijaksana. Ia selalu memberikan yang
terbaik untuk rakyatnya. Sehingga Negeri Medang Kamulan sejahtera. Namun,
semuanya berubah bermula ketika sang juru masak kerajaan teriris jarinya saat
memasak. Sehingga potongan kulit dan darahnya pun masuk ke dalam sup yang akan
disuguhkan kepada Sang Raja. Kemudian ia pun menyajikan masakannya kepada Prabu
Dewata Cengkar. Prabu Dewata Cengkar langsung melahap habis sup tersebut ia
merasa sup yang disajikan sangat lezat, kemudian ia mengutus patihnya yaitu
Jugul Muda untuk menanyai juru masak kerajaan. Kemudian sang juru masak berkata
bahwa ia tidak sengaja teriris jarinya menyebabkan kulit dan darahnya tercampur
masuk ke dalam sup yang dihidangkan untuk Prabu Dewata Cengkar.
Setelah kejadian itu Prabu Dewata Cengkar memerintahkan kepada patihnya untuk
menyiapkan seorang rakyatnya untuk disantap setiap harinya. Sejak itulah sang
Prabu menjadi senang makan daging dan darah manusia dan sifatnya pun berubah
menjadi bengis, jahat dan senang melihat orang menderita.
Ajisaka bersama Dora saat itu tiba di Hutan yang sangat lebat. Ketika akan
melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang
laki-laki meminta tolong.
Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara
tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya
sedang dipukuli oleh dua orang perampok. Melihat tindakan kedua perampok
tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah
tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan
tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki
itu.
Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri
Medang Kamulan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata
Cengkar setiap hari mengincar rakyatnya untuk di hidangkan. Karena takut
menjadi mangsa sang Raja, lelaki itu kabur dari negeri itu.
Aji Saka dan Dora tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru
saja ditolongnya itu.
Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke
Negeri Medang Kamulan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamulan dari kebengisan
Prabu Dewata Cengkar.
Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar
istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir
di depan pintu gerbang istana.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit
ingin bertemu dengan sang Prabu dan menyerahkan diri saya kepada Sang Prabu
untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak
tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di
dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih
Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung
menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.
Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak
sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong
tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka
mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon
imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil
menunjukkan sorban yang dikenakannya.
Permintaan itu dikabulkan oleh Sang Prabu. Ajisaka kemudian meminta Prabu
Dewata Cengkar menarik salah satu ujung sorbannya. Ajaibnya, sorban itu setiap
diulur, terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan
Medang Kamulan sampai di pantai Laut
Selatan. Kemudian Ajisaka mengibaskan sorban tersebut, hal ini membuat Prabu
Dewatacengkar terlempar ke laut. Wujud Prabu Dewata Cengkar lalu berubah
menjadi buaya putih.
Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat
pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan
Prabu Dewata Cengkar.
Setelah beberapa hari, Ajisaka menyuruh Dora pergi ke Pulau Majethi untuk
ngambil keris pusaka yang dijaga oleh Sembada.
Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika
kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu.
Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.
Sembada yang patuh pada pesan Ajisaka tidak memberikan keris pusaka itu ke
Dora. Dora tetap memaksa agar pusaka itu segera diserahkan. Akhirnya keduanya
bertarung tanpa ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan
tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati
daripada mengkhianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit
antara kedua orang bersahabat tersebut. Namun karena mereka memiliki ilmu yang
sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.
Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari
Pegunung Gendeng.
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia
memutuskan untuk menyusul ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa
terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua pengikut setianya Dora dan
Sembada telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada
tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka
menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana.